Dari Bangkrut ke Stabil: Transformasi La Liga dalam Satu Dekade

La Liga
Sumber :
  • La Liga

VIVASoccerBursa transfer musim panas 2025 kembali menyoroti jurang finansial antara La Liga dan Premier League.

Kondisi Pemain Real Madrid Bikin Xabi Alonso Pusing

Klub-klub Inggris menggelontorkan lebih dari £3 miliar, dengan transfer Alexander Isak ke Liverpool seharga £125 juta menjadi tajuk utama.

Sebaliknya, klub-klub Spanyol hanya menghabiskan £592 juta. Angka itu bukan hanya tertinggal jauh dari Inggris, tetapi juga kalah dari Italia (£1 miliar) dan Jerman (£739 juta).

Gianluigi Donnarumma Bakal Debut di Laga Derby Manchester?

Kondisi ini mencerminkan berkurangnya kekuatan finansial La Liga dalam beberapa tahun terakhir.

Di Spanyol sendiri, sebagian besar investasi terkonsentrasi di Real Madrid dan Atletico Madrid, yang masing-masing mengeluarkan £157 juta dan £149 juta.

Data CIES: Liverpool 28,9% Juara, City dan MU Tersisih

Villarreal sempat memecahkan rekor transfer klub dengan mendatangkan Georges Mikautadze seharga £25,5 juta, sementara Real Betis berjuang keras untuk menggaet Antony dari Manchester United dengan biaya £21 juta.

Namun di luar itu, sikap hemat tetap mendominasi. Sevilla melepas Dodi Lukebakio dan Loic Bade untuk menyeimbangkan skuad, Getafe terpaksa menjual bintang mereka Christantus Uche demi patuh aturan, dan Barcelona menutup aktivitas transfer dengan surplus £16 juta berkat belanja hemat.

Perbedaan mencolok dengan Premier League seolah memperlihatkan ketertinggalan La Liga.

Namun di balik penghematan tersebut, ada strategi baru: keberlanjutan finansial lebih diprioritaskan dibanding pesta transfer jangka pendek.

Transformasi dari Krisis ke Profesionalisme

Awal abad ke-21, sepak bola Spanyol berada dalam kekacauan. Lebih dari 20 klub bangkrut, isu gaji tak terbayar jadi berita utama, dan utang kepada otoritas pajak serta jaminan sosial menembus £595 juta.

Titik balik terjadi pada 2013 ketika La Liga memperkenalkan kerangka kontrol ekonomi, terinspirasi aturan Financial Fair Play UEFA.

Sejak itu, klub hanya boleh membelanjakan uang yang mereka hasilkan. Batas gaji diberlakukan, pendapatan harus dibuktikan sebelum investasi, dan setiap transaksi diawasi ketat.

Perubahan ini drastis: utang kronis ditekan, kerugian berubah jadi keuntungan, dan investor asing kembali masuk.

Saat ini, dana investasi memegang saham di klub-klub seperti Atletico, Valencia, Espanyol, Cadiz, hingga Leganes.

Bahkan Barcelona pun, meski statusnya raksasa dunia, dipaksa menjual aset dan mengaktifkan “tuas finansial” demi tetap patuh aturan. Ini menegaskan bahwa regulasi berlaku untuk semua.

Transformasi ini bukan sekadar reformasi olahraga, melainkan fondasi industri baru.

Klub yang dulu rapuh kini berubah menjadi entitas stabil yang menciptakan ribuan lapangan kerja dan memberi kontribusi besar bagi ekonomi Spanyol.

Dalam satu dekade terakhir, transformasi dari kekacauan menuju profesionalisme menjadi pencapaian terbesar La Liga.

Tak hanya di bidang finansial, reformasi juga mencakup tata kelola.

Standar transparansi ditingkatkan, manajemen klub diprofesionalisasi, dan modernisasi melalui teknologi, data, serta diversifikasi pendapatan semakin ditekankan.

Meski begitu, model ini masih punya kelemahan. Aturan yang ketat kerap membuat tim wanita terpinggirkan karena klub lebih fokus menjaga neraca skuad pria.

Bahkan Barcelona Femeni, tim wanita terkuat Eropa, sempat memulai musim hanya dengan 17 pemain terdaftar.

Olahraga lain di bawah payung klub juga ikut terhimpit, menegaskan perlunya penyesuaian agar disiplin finansial bisa berjalan selaras dengan inklusivitas.

Tantangan Pendapatan & Ancaman Stagnasi

Selama bertahun-tahun, dua sumber utama pemasukan La Liga adalah hak siar dan penjualan pemain.

Penerapan hak siar kolektif sejak 2015 menggandakan pendapatan tahunan menjadi sekitar £1,3 miliar, mencapai puncak £1,4 miliar pada 2019/20.

Namun setelah pandemi, pasar transfer meredup. Ditambah lagi, pembajakan siaran merugikan £510–595 juta per tahun, sementara format baru Liga Champions dikhawatirkan mengurangi nilai kompetisi domestik.

Meski La Liga sudah mengamankan kontrak siaran domestik hingga 2027, proyeksi ke depan memperkirakan pendapatan stagnan bahkan menurun.

Kondisi ini memaksa klub mencari sumber pemasukan lain. Stadion kini dimaksimalkan bukan hanya untuk sepak bola, tapi juga konser dan acara besar. Atletico Madrid misalnya, menggelar 10 konser Bad Bunny di Metropolitano.

Kesepakatan kontroversial dengan perusahaan ekuitas swasta yang menyuntik £1,6 miliar juga menjadi strategi besar.

Dana ini sebagian besar dipakai untuk infrastruktur dan ekspansi internasional, meski Real Madrid, Barcelona, dan Athletic Bilbao menolak keras.

Strategi ini menunjukkan satu hal: La Liga harus memperluas horizon komersial demi menjaga total pendapatan tahunan di atas £4,3 miliar.

Kompetisi: Spanyol Masih Bertaji

Meski glamour menurun, klub Spanyol masih kompetitif di level Eropa. Dalam 10 tahun terakhir, tim La Liga menembus 15 final Eropa, lebih banyak dibanding klub Inggris (13).

Real Madrid, Barcelona, dan Atletico konsisten di Liga Champions, Sevilla mendominasi Liga Europa, Villarreal juara pada 2021, bahkan Real Betis pernah tampil di final Conference League.

Bintang-bintang top pun masih hadir. Lamine Yamal dan Kylian Mbappe kini jadi wajah baru La Liga, meneruskan tradisi pemain kelas dunia.

Salah satu nama besar yang belum merapat hanyalah Mohamed Salah, namun pesona Real Madrid dan Barcelona tetap jadi magnet utama bagi para superstar.

Kekuatan lain yang menjaga daya saing Spanyol adalah akademi muda.

Sistem pembinaan seperti La Masia (Barcelona), Castilla (Real Madrid), akademi Atletico, serta Villarreal, Real Sociedad, Athletic, dan Celta Vigo terus menghasilkan talenta.

Nama-nama seperti Pedri, Lamine Yamal, Nico Williams, hingga Alex Baena adalah contoh produk akademi yang cepat menembus tim utama dan bersinar di level internasional.

Bagi banyak klub, akademi adalah fondasi olahraga sekaligus penopang finansial, memastikan mereka tetap kompetitif tanpa perlu jor-joran belanja.

Jalan yang Dipilih La Liga

La Liga tahu bahwa meniru Premier League adalah hal mustahil. Perbedaan bahasa, budaya siaran televisi, hingga jangkauan global membuat Inggris unggul secara struktural.

Karena itu, jalur yang ditempuh Spanyol adalah memperkuat model sendiri: disiplin finansial, profesionalisme, pembinaan pemain, dan ekspansi global yang terukur.

Pertanyaannya kini, apakah strategi itu cukup untuk memastikan La Liga tidak semakin tertinggal dalam peta sepak bola dunia