Gagal Raih Ballon d'Or, Lamine Yamal Tetap Ukir Sejarah
- Barcelona FC
VIVASoccer – Lamine Yamal berusia baru 18 tahun, namun sudah berada di panggung sejarah sepak bola dunia.
Ia sempat masuk nominasi Ballon d'Or dan berpeluang menjadi pemenang termuda sepanjang masa, meski akhirnya kalah dari Ousmane Dembele yang membawa PSG berjaya.
Meski gagal meraih trofi utama, Yamal tetap mencatat pencapaian luar biasa dengan menyabet penghargaan pemain muda terbaik tahun ini.
Bagi banyak pihak, fakta bahwa ia bisa masuk daftar kandidat Ballon d'Or di usia remaja saja sudah menjadi revolusi.
Lamine Yamal tidak hanya dipandang sebagai pesepakbola, tetapi juga simbol generasi barunya.
Berbeda dengan Lionel Messi yang menekankan kerendahan hati atau Cristiano Ronaldo yang menjadikan disiplin sebagai panggung, Yamal menunjukkan filosofi baru.
Ia pernah berkata, "Saya tidak bermimpi satu Ballon d'Or, saya bermimpi banyak. Jika saya tidak mendapatkannya, itu salah saya."
Ucapan itu menggambarkan mentalitas generasi muda yang lebih percaya diri, lebih terbuka, dan tidak takut menunjukkan ambisi.
Gaya hidupnya, mulai dari pesta ulang tahun hingga kedekatan dengan Neymar, dipandang bukan sebagai kesalahan, melainkan ekspresi bahwa performa di lapangan adalah satu-satunya ukuran.
Lamine Yamal lebih mirip bintang pop dibanding pesepakbola tradisional.
Kehadirannya di media sosial membuat fans merasa lebih dekat, berbeda dengan Messi yang penuh misteri atau Ronaldo yang terkurasi rapi.
Remaja asal Spanyol itu tumbuh di lingkungan sederhana di Mataro sebagai anak imigran, mengalami masa kecil penuh tantangan, hingga kehilangan ayah akibat penikaman.
Semua pengalaman itu membentuk karakter Yamal yang kini berani memikul tanggung jawab besar di usia muda, termasuk mengenakan nomor 10 Barcelona.
Ia juga menunjukkan sisi manusiawi dengan langsung membelikan rumah untuk ibunya dari gaji pertamanya, sembari menyebut, "Bagi saya, dia adalah ratu saya."
Namun perjalanan karier panjang masih menunggu.
Cedera sempat membuatnya absen, dan Barcelona membuktikan bisa tetap menang tanpa bergantung penuh padanya.
Hal ini justru menjadi kabar baik karena Yamal bisa berkembang tanpa beban sebagai penyelamat tunggal.
Di bawah arahan Hansi Flick dan Luis de la Fuente, ia terus berevolusi menjadi pemain yang komplet.
Pertanyaan besarnya adalah bagaimana Yamal merespons saat masa sulit datang, ketika ia duduk di bangku cadangan, cedera panjang, atau gagal meraih penghargaan berikutnya.
Karier Yamal baru saja dimulai, namun aura bintang besarnya sudah terasa di panggung dunia.
Jika ia mampu mengubah ambisi menjadi ketahanan, era Lamine Yamal bisa lahir dan mengubah wajah sepak bola abad ke-21