Drama Isak, Højlund, Guéhi: Saat Loyalitas Kalah dari Uang di Sepak Bola
- id.pinterest.com
VIVASoccer – Loyalitas kerap dianggap sebagai nilai mulia dalam sepak bola, namun kenyataannya bisnis selalu berada di garis depan.
Alexander Isak hanyalah contoh terbaru dari deretan pemain yang memilih jalannya sendiri, mengikuti jejak Trent Alexander-Arnold, Harry Kane, hingga Robin van Persie.
Bagi para suporter, loyalitas diwujudkan dengan tato permanen di tubuh mereka atau nyanyian tanpa henti di tribun.
Namun hal serupa jarang berlaku bagi para pemain. Ketika seorang pemain dituduh tak setia atau bahkan dianggap pengkhianat karena ingin pindah, ada sisi lain yang kerap dilupakan.
Cukup tanyakan pada Rasmus Højlund di Manchester United, Marc Guéhi di Crystal Palace, atau Raheem Sterling di Chelsea.
Ketiganya merasakan bahwa loyalitas juga bisa diputuskan sepihak oleh klub, biasanya demi alasan finansial.
Isak sendiri kini menjadi sorotan setelah belum sekali pun turun membela Newcastle United musim panas ini.
Keputusannya untuk memaksa pindah ke Liverpool membuat sebagian fans geram. Ia bahkan dicap "Judas," disebut "Pure Rat" lewat spanduk, hingga diteriaki "greedy bastard" saat absen dalam laga imbang 0-0 melawan Aston Villa.
Trent Alexander-Arnold pernah mengalami hal serupa. Saat menolak perpanjangan kontrak dengan Liverpool sebelum hengkang ke Real Madrid, kaus bernomor 66 miliknya dibakar fans, bahkan ia disambut dengan cemoohan setelah kepindahannya resmi.
Harry Kane juga sempat menjadi sasaran nyanyian sarkastik suporter Tottenham kala gagal pindah ke Manchester City pada 2021.
Kasus Robin van Persie pun tak kalah panas, di mana pendukung Arsenal belum memaafkannya karena memilih gabung Manchester United pada 2012 demi meraih trofi yang langsung ia buktikan setahun kemudian.
Newcastle wajar merasa kecewa terhadap Isak. Sang striker asal Swedia masih terikat kontrak tiga tahun usai ditebus £63 juta dari Real Sociedad pada 2022.
Namun, kontrak panjang tak pernah benar-benar menjamin loyalitas. Contohnya, Yoane Wissa justru mendorong kepindahan dari Brentford ke Newcastle meski kontraknya masih berlaku satu tahun.
Kontribusi Isak sejatinya besar. Ia membawa Newcastle dua kali lolos ke Liga Champions dan mengakhiri penantian 70 tahun gelar domestik lewat gol di final Carabao Cup melawan Liverpool, Maret lalu.
Bagi Isak, pencapaian itu sudah cukup untuk membayar harga transfernya.
Namun, meski tampil gemilang, ia tak kunjung mendapat kontrak baru yang lebih besar. Di sisi lain, klub juga gagal memperkuat skuad secara signifikan.
Kondisi ini membuat Isak merasa Newcastle tertinggal dari level permainannya, sama seperti Kane di Spurs dan Van Persie di Arsenal sebelum memilih hengkang.
Secara moral, loyalitas berarti Isak bertahan dan mengangkat Newcastle ke levelnya.
Tetapi tanpa dukungan klub, keputusannya mencari tantangan baru bisa dianggap wajar, meski caranya dinilai meninggalkan luka di hati fans.
Ironisnya, loyalitas dalam sepak bola bukan hanya soal pemain. Klub pun kerap bersikap sebaliknya.
Højlund, rekrutan £72 juta dari Atalanta, justru ingin bertahan di Manchester United. Meski performanya naik turun, ia masih berambisi sukses bersama klub masa kecilnya.
Namun, United berencana melepasnya demi menyeimbangkan keuangan, sementara AC Milan siap menampungnya kembali di Serie A.
Marc Guéhi juga menghadapi dilema. Bek sekaligus kapten Crystal Palace itu ingin menuntaskan kontraknya yang tersisa setahun.
Padahal, ia baru saja mempersembahkan trofi FA Cup pertama dalam sejarah klub. Namun, manajemen Palace lebih memilih melepasnya ketimbang kehilangan gratis tahun depan.
Nasib serupa dialami Raheem Sterling di Chelsea. Tiga tahun setelah dibeli seharga £47,5 juta, ia kini diberitahu tak lagi masuk rencana klub.
Ironisnya, Sterling pernah dituding tak setia saat meninggalkan Liverpool demi Manchester City pada 2015.
Pada akhirnya, Isak mungkin dianggap sebagai "penjahat terbesar" musim panas ini, simbol dari kerasnya wajah sepak bola modern.
Namun, kisah Højlund, Guéhi, dan Sterling membuktikan bahwa loyalitas sejatinya jarang berlaku dua arah.
Suporter hidup dari emosi, tetapi bagi pemain dan klub, sepak bola tetap bisnis kejam yang tak mengenal belas kasihan