Fans Aston Villa dan Newcastle Protes Aturan Keuangan, Premier League Terpojok!
- The Telegraph
VIVASoccer – Ada momen emosional ketika Aston Villa bermain imbang tanpa gol melawan Newcastle United di Villa Park.
Kedua kelompok suporter, yang biasanya saling bermusuhan, justru bersatu melontarkan protes keras terhadap aturan Profitability and Sustainability Rules (PSR) milik Premier League.
Villa Park menggema saat chant “Premier League, corrupt as f---” dilantunkan fans tuan rumah.
Tak disangka, pendukung Newcastle ikut menyambut dengan tepuk tangan.
Beberapa menit kemudian, chant yang sama dinyanyikan fans The Magpies, giliran Villa yang memberi apresiasi.
Pada akhirnya, nyanyian protes itu disuarakan serentak oleh seluruh stadion.
Kemarahan kedua kubu berakar dari aturan PSR yang dianggap menghambat ambisi klub menengah yang sedang berkembang pesat.
Meski didukung pemilik kaya raya, baik Villa maupun Newcastle merasa seperti “dibelenggu” karena tidak bisa membelanjakan uang mereka dengan leluasa.
Aturan PSR sejatinya dibuat untuk mencegah klub bangkrut akibat belanja berlebihan. Namun, realitanya justru menciptakan batas buatan yang menguntungkan klub “big six” yang punya pendapatan komersial jauh lebih besar.
Klub-klub seperti Villa dan Newcastle terpaksa menjual pemain penting untuk menjaga neraca keuangan tetap sehat.
Contoh terbaru adalah penjualan Jacob Ramsey, lulusan akademi Villa, ke Newcastle dengan harga lebih dari £40 juta.
Villa sejatinya enggan melepasnya, namun terpaksa karena ancaman sanksi UEFA terkait PSR. Ramsey pun kini menjadi amunisi anyar bagi Eddie Howe.
Yang menarik, tidak ada ejekan dari kubu Newcastle soal transfer ini. Sebaliknya, banyak simpati ditunjukkan di media sosial.
Fans Newcastle paham betul situasi tersebut, karena musim lalu mereka juga dipaksa menjual dua talenta muda, Elliot Anderson dan Yankuba Minteh, demi menghindari pengurangan 10 poin.
Keterbatasan PSR membuat Newcastle hampir dua tahun tak bisa memperkuat tim utama meski sempat belanja besar setelah akuisisi pada 2021.
Kini, mereka bahkan kesulitan mempertahankan Alexander Isak yang digoda Liverpool dengan tawaran gaji dua kali lipat dari yang diterimanya di Tyneside.
Villa pun mengalami nasib serupa. Tahun lalu Douglas Luiz dilepas ke Juventus, lalu beberapa pemain muda berbakat juga dijual.
Gagal lolos ke Liga Champions musim lalu semakin memperburuk kondisi finansial klub, hingga Ramsey ikut dikorbankan.
Manajer Unai Emery menyuarakan kritiknya dalam catatan program pertandingan. Ia menulis: “Financial control rules came to football to avoid bankruptcies and payment defaults, with a good purpose. But as professionals we should review it… who will never be allowed to dream and get higher goals.”
Kapten John McGinn turut meluapkan kekecewaannya di X. Ia menulis: “A sad day losing a top player and person and one of our own but it seems to be the way football is set up these days!”
Direktur operasional sepak bola Villa, Damian Vidagany, bahkan menegaskan sejak tahun lalu bahwa sistem ini “memaksa klub menjual pemain akademi” dan bisa “membunuh semangat sepak bola”.
Villa dan Newcastle kini berada di garis depan sebagai “pengganggu tatanan” Premier League.
Dalam tiga musim terakhir, keduanya berhasil menembus Liga Champions, namun tetap harus berjuang keras menghadapi dominasi finansial Chelsea, Manchester City, Manchester United, dan Liverpool.
Di Villa Park akhir pekan lalu, dua basis suporter yang dulunya dikenal sebagai rival justru bersatu melawan sistem yang mereka nilai timpang. Bagi mereka, sepak bola seharusnya ditentukan di atas lapangan, bukan di meja akuntan
VIVASoccer – Ada momen emosional ketika Aston Villa bermain imbang tanpa gol melawan Newcastle United di Villa Park.
Kedua kelompok suporter, yang biasanya saling bermusuhan, justru bersatu melontarkan protes keras terhadap aturan Profitability and Sustainability Rules (PSR) milik Premier League.
Villa Park menggema saat chant “Premier League, corrupt as f---” dilantunkan fans tuan rumah.
Tak disangka, pendukung Newcastle ikut menyambut dengan tepuk tangan.
Beberapa menit kemudian, chant yang sama dinyanyikan fans The Magpies, giliran Villa yang memberi apresiasi.
Pada akhirnya, nyanyian protes itu disuarakan serentak oleh seluruh stadion.
Kemarahan kedua kubu berakar dari aturan PSR yang dianggap menghambat ambisi klub menengah yang sedang berkembang pesat.
Meski didukung pemilik kaya raya, baik Villa maupun Newcastle merasa seperti “dibelenggu” karena tidak bisa membelanjakan uang mereka dengan leluasa.
Aturan PSR sejatinya dibuat untuk mencegah klub bangkrut akibat belanja berlebihan. Namun, realitanya justru menciptakan batas buatan yang menguntungkan klub “big six” yang punya pendapatan komersial jauh lebih besar.
Klub-klub seperti Villa dan Newcastle terpaksa menjual pemain penting untuk menjaga neraca keuangan tetap sehat.
Contoh terbaru adalah penjualan Jacob Ramsey, lulusan akademi Villa, ke Newcastle dengan harga lebih dari £40 juta.
Villa sejatinya enggan melepasnya, namun terpaksa karena ancaman sanksi UEFA terkait PSR. Ramsey pun kini menjadi amunisi anyar bagi Eddie Howe.
Yang menarik, tidak ada ejekan dari kubu Newcastle soal transfer ini. Sebaliknya, banyak simpati ditunjukkan di media sosial.
Fans Newcastle paham betul situasi tersebut, karena musim lalu mereka juga dipaksa menjual dua talenta muda, Elliot Anderson dan Yankuba Minteh, demi menghindari pengurangan 10 poin.
Keterbatasan PSR membuat Newcastle hampir dua tahun tak bisa memperkuat tim utama meski sempat belanja besar setelah akuisisi pada 2021.
Kini, mereka bahkan kesulitan mempertahankan Alexander Isak yang digoda Liverpool dengan tawaran gaji dua kali lipat dari yang diterimanya di Tyneside.
Villa pun mengalami nasib serupa. Tahun lalu Douglas Luiz dilepas ke Juventus, lalu beberapa pemain muda berbakat juga dijual.
Gagal lolos ke Liga Champions musim lalu semakin memperburuk kondisi finansial klub, hingga Ramsey ikut dikorbankan.
Manajer Unai Emery menyuarakan kritiknya dalam catatan program pertandingan. Ia menulis: “Financial control rules came to football to avoid bankruptcies and payment defaults, with a good purpose. But as professionals we should review it… who will never be allowed to dream and get higher goals.”
Kapten John McGinn turut meluapkan kekecewaannya di X. Ia menulis: “A sad day losing a top player and person and one of our own but it seems to be the way football is set up these days!”
Direktur operasional sepak bola Villa, Damian Vidagany, bahkan menegaskan sejak tahun lalu bahwa sistem ini “memaksa klub menjual pemain akademi” dan bisa “membunuh semangat sepak bola”.
Villa dan Newcastle kini berada di garis depan sebagai “pengganggu tatanan” Premier League.
Dalam tiga musim terakhir, keduanya berhasil menembus Liga Champions, namun tetap harus berjuang keras menghadapi dominasi finansial Chelsea, Manchester City, Manchester United, dan Liverpool.
Di Villa Park akhir pekan lalu, dua basis suporter yang dulunya dikenal sebagai rival justru bersatu melawan sistem yang mereka nilai timpang. Bagi mereka, sepak bola seharusnya ditentukan di atas lapangan, bukan di meja akuntan